Konsep “anak kuat” seringkali diasosiasikan dengan seseorang yang dianggap mampu menjadi “penopang” keluarga. Ini bisa berarti menjadi anak yang sukses, mandiri, atau bahkan menjadi “pemecah rekor” di dalam keluarga. Namun, di balik harapan tersebut, terdapat anggapan bahwa “anak kuat” harus selalu siap menerima beban tambahan tanpa protest, tanpa keluhan, dan tanpa menunjukkan kelemahan.
Harapan ini seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang menempatkan kepentingan keluarga di atas kepentingan individu. Dalam beberapa kasus, “anak kuat” diharapkan untuk mengorbanikan keinginan pribadi demi kebaikan bersama. Namun, yang seringkali terjadi adalah, “anak kuat” tersebut dipaksa untuk memikul beban yang melebihi kapasitasnya, tanpa mendapatkan pengakuan atau dukungan yang memadai.
Teakan Sosial dan Keluarga: Mengapa ‘Anak Kuat’ Jadi Beban?Salah satu sumber tekanan utama bagi “anak kuat” adalah harapan yang berlebihan dari keluarga dan masyarakat. Ketika seseorang dilabeli sebagai “anak kuat”, maka dianggap ia mampu menangani segala hal dengan baik. Mulai dari urusan pendidikan, karier, hingga masalah keluarga, semua diharapkan bisa ditangani dengan sempurna.
Harapan ini seringkali tidak disertai dengan pemahaman bahwa setiap individu memiliki batasan dan kelemahan. Akibatnya, “anak kuat” seringkali merasa terjebak dalam peran yang tidak bisa mereka tinggalkan, bahkan ketika mereka merasa tidak mampu melanjutkannya.
2. Kekerasan Emosional dan KecemasanTeakan untuk menjadi “anak kuat” juga seringkali menyebabkan kekerasan emosional. Seseorang yang dianggap “kuat” seringkali diharapkan untuk tidak menunjukkan kelemahan atau perasaan negatif, seperti sedih, takut, atau lelah. Akibatnya, mereka seringkali merasa harus “pura-pura baik-baik saja” meskipun di dalam hati mereka merasa kewalahan.
Kondisi ini bisa memicu kecemasan dan depresi, karena seseorang yang merasa terjebak dalam peran “anak kuat” seringkali merasa tidak bisa mengeluarkan perasaannya dengan bebas. Mereka takut dianggap lemah atau gagal memenuhi harapan orang lain.
3. Kehilangan Jati DiriSalah satu dampak paling serius dari tekanan ini adalah kehilangan jati diri. Ketika seseorang terus-menerus dipaksa untuk memenuhi harapan orang lain, mereka bisa kehilangan pemahaman tentang siapa mereka sebenarnya, apa yang mereka inginkan, dan apa yang membuat mereka bahagia.
Ini bisa menyebabkan perasaan kosong dan tidak puas, meskipun dari luar mereka terlihat “sukses” atau “kuat”. Mereka mungkin merasa bahwa hidup mereka hanya diarahkan oleh keinginan orang lain, bukan oleh tujuan pribadi yang jelas.
Toxic Positivity: Ketika Sikap Selalu Bahagia Justru Merusak Mental Kaum Milenial
Langkah pertama untuk mengatasi tekanan ini adalah dengan mengenal diri sendiri secara jujur. Seseorang perlu memahami apa yang mereka inginkan, apa yang membuat mereka bahagia, dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan untuk merasa puas dalam hidup.
Proses ini bisa dimulai dengan bertanya pada diri sendiri: “Apa yang benar-benar aku inginkan?” atau “Apa yang membuatku merasa bahagia?” Dengan memahami diri sendiri, seseorang bisa mulai memisahkan antara harapan orang lain dan tujuan pribadinya.
2. Komunikasi TerbukaKomunikasi terbuka adalah kunci untuk mengurangi tekanan ini. Seseorang perlu berani mengungkapkan perasaannya kepada keluarga atau orang-orang terdekat, meskipun hal ini mungkin terasa menantang.
Ini bisa dimulai dengan mengungkapkan perasaan lelah atau kewalahan, lalu secara perlahan-lahan menjelaskan bahwa mereka memerlukan dukungan atau bantuan. Penting untuk diingat bahwa mengungkapkan perasaan tidak berarti “lemah”, melainkan justru menunjukkan keberanian.
3. Mencari DukunganJika tekanan ini terasa terlalu berat untuk dihadapi sendiri, maka mencari dukungan dari orang lain adalah langkah yang penting. Dukungan ini bisa berasal dari teman, sahabat, atau bahkan profesional seperti psikolog atau konselor.
Mereka bisa membantu seseorang untuk memproses perasaannya, menemukan solusi, dan membangun strategi untuk menghadapi tekanan tersebut. Dengan dukungan yang tepat, seseorang bisa merasa lebih kuat dan lebih siap untuk menghadapi tantangan yang ada.
WAJIB TAHU! Cara Login dan Aktivasi MFA di ASN Digital BKN Sebelum 13 April 2025
Menjadi “anak kuat” seringkali dianggap sebagai something yang positif, namun di baliknya terdapat tekanan yang bisa menjadi beban yang berat. Seseorang yang diposisikan sebagai “anak kuat” seringkali merasa terjebak dalam peran yang tidak bisa mereka tinggalkan, dan ini bisa mempengaruhi kualitas hidup mereka secara signifikan.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa setiap individu memiliki batasan dan kelemahan. Menerima kenyataan ini adalah langkah pertama untuk mengurangi tekanan dan memungkinkan seseorang untuk hidup dengan lebih autentik dan bahagia.
Ingatlah, menjadi “kuat” tidak berarti harus selalu “baik-baik saja”. Kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk mengakui kelemahan, menerima dukungan, dan menjalani hidup dengan jujur pada diri sendiri.****