Amandemen ini meningkatkan wewenang pengadilan Islam dalam mengatur persoalan keluarga, seperti pernikahan, perceraian, dan warisan. Pendukungnya mengklaim langkah ini sebagai upaya menyelaraskan hukum nasional dengan prinsip-prinsip Islam sekaligus melawan pengaruh budaya Barat. Namun, para aktivis HAM menilai keputusan ini melemahkan UU Status Pribadi 1959 yang selama ini menjadi dasar perlindungan hak perempuan dan anak.
Shin Tae-yong Resmi Tinggalkan Indonesia dengan Perpisahan Haru
Sejumlah organisasi HAM mengecam keputusan parlemen. Intisar al-Mayali, anggota Liga Wanita Irak, menyebut amandemen tersebut sebagai ancaman besar terhadap hak perempuan dan anak perempuan. “Anak-anak akan kehilangan masa kecil mereka, dan ini melanggar hak mereka untuk hidup bebas dari eksploitasi. Selain itu, perlindungan terhadap perempuan dalam kasus perceraian, hak asuh anak, dan warisan juga terancam,” ujarnya.
Berdasarkan hukum yang berlaku sebelumnya, usia minimum untuk menikah di Irak ditetapkan pada 18 tahun, kecuali dengan dispensasi tertentu. Namun, amandemen baru ini dinilai memberikan keleluasaan bagi para ulama untuk menafsirkan aturan sesuai pemahaman mereka terhadap hukum Islam, membuka jalan bagi praktik pernikahan anak.
Proses Voting yang KontroversialSidang parlemen untuk mengesahkan amandemen ini berakhir dengan kericuhan. Beberapa anggota parlemen menuding proses pengambilan suara melanggar prosedur, karena tidak memenuhi kuorum. “Separuh dari anggota parlemen yang hadir tidak memberikan suara, tetapi amandemen tetap diloloskan,” ungkap seorang pejabat parlemen yang tidak mau disebutkan namanya.
Ketua parlemen Irak, Mahmoud al-Mashhdani, justru memuji keberhasilan pengesahan ini. Namun, banyak pihak mengecam keputusan tersebut sebagai langkah mundur dalam perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi perempuan dan anak-anak di Irak.
Nikita Mirzani Gelar Sayembara Rp10 Juta untuk Temukan Pria Bernama Taufik
Kontroversi ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kelompok HAM internasional. Mereka menyerukan agar pemerintah Irak mempertimbangkan kembali amandemen tersebut demi melindungi hak-hak perempuan dan anak sesuai standar internasional.
Revisi UU ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak masih jauh dari selesai. Sementara itu, kelompok konservatif tetap bersikeras bahwa amandemen ini merupakan langkah penting untuk menjaga nilai-nilai agama di tengah pengaruh globalisasi.***