“Per September 2025, kami sudah menutup 19 gerai. Jumlah karyawan yang terdampak PHK sekitar 400 orang,” ungkap Wahyudi.
Meski demikian, Wahyudi menekankan bahwa tidak semua gerai yang ditutup bersifat permanen. Beberapa di antaranya hanya akan direlokasi ke lokasi baru dengan potensi pasar lebih baik.
“Kalau daerah masih punya daya beli yang baik, penutupan ini hanya sementara. Kami mencari lokasi baru yang lebih strategis agar transaksi bisa meningkat,” jelasnya.
Langkah relokasi ini disebut sebagai bagian dari strategi perusahaan untuk menjaga keberlanjutan bisnis sekaligus memperbaiki kinerja operasional di tengah persaingan ketat industri makanan cepat saji.
Dalam laporan keuangan semester I 2025, Fast Food Indonesia masih mencatatkan kerugian bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp138,75 miliar. Meski demikian, angka ini menurun signifikan, sekitar 60%, dibandingkan kerugian pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp348,83 miliar.
Perseteruan Yai Mim dan Nurul Sahara Jadi Sorotan Nasional, Simpati Netizen Berbalik Arah
Dari sisi pendapatan, perusahaan membukukan Rp2,40 triliun, turun 3,12% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp2,48 triliun. Namun, terdapat perbaikan pada beban pokok penjualan yang turun menjadi Rp961,44 miliar dari sebelumnya Rp1,05 triliun. Dengan penurunan beban tersebut, laba bruto justru naik tipis menjadi Rp1,44 triliun dibanding Rp1,42 triliun pada semester I 2024.
Meski masih merugi, manajemen menilai langkah efisiensi serta strategi relokasi gerai bisa menjadi pondasi untuk memperbaiki performa bisnis dalam jangka panjang.***