Website Thinkedu

Validasi Diri di Era Digital, Mengapa Kita Haus akan Like dan Komentar?

Validasi Diri di Era Digital, Mengapa Kita Haus akan Like dan Komentar?
Photo by bruce mars on Unsplash - tautan
Lingkaran.id - Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Instagram, Facebook, Twitter, hingga TikTok menawarkan ruang bagi kita untuk berbagi momen, berinteraksi, dan membangun jaringan sosial. Namun, di balik semua kemudahan tersebut, ada fenomena menarik yang patut kita cermati: kecenderungan manusia untuk mencari validasi diri melalui like dan komentar.

Pertanyaannya adalah, mengapa kita begitu haus akan validasi tersebut? Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar ponsel kita?
 

Validasi diri adalah kebutuhan manusia yang alami. Sejak lahir, kita mempelajari cara untuk diterima dan dihargai oleh orang lain. Di era digital, kebutuhan ini bertransformasi menjadi keinginan untuk mendapatkan like dan komentar yang positif. Setiap kali kita membagikan konten, kita secara tidak sadar mengharapkan reaksi dari orang lain. Reaksi ini memberikan kita rasa puas dan kepuasan yang seringkali diasosiasikan dengan pernyataan: "Aku penting" atau "Aku berarti".

Kenapa Burnout Begitu Umum di Kalangan Milenial & Gen Z

Dari perspektif psikologi, kecanduan like dan komentar dapat dijelaskan melalui konsep dopamine loop. Dopamin adalah neurotransmitter yang terkait dengan perasaan bahagia dan puas. Ketika kita mendapatkan like atau komentar, otak kita melepaskan dopamin, yang kemudian menciptakan asosiasi positif dengan tindakan tersebut. Semakin sering kita mendapatkan validasi, semakin kuat pula keinginan kita untuk terus membagikan konten guna mendapatkan dosis dopamin berikutnya.

Ketergantungan pada validasi sosial media memiliki dampak yang kompleks pada self-esteem (persepsi diri) kita. Di satu sisi, like dan komentar positif dapat meningkatkan kepercayaan diri, terutama jika kita merasa dihargai atau diterima oleh komunitas online. Namun, di sisi lain, ketergantungan ini juga bisa menimbulkan masalah serius.

Salah satu dampak negatif yang paling umum adalah perasaan tidak aman (insecurity) ketika kita tidak mendapatkan jumlah like yang diharapkan. Kita mungkin merasa bahwa nilai diri kita ditentukan oleh angka-angka tersebut, sehingga kekecewaan pun tak terhindarkan. Hal ini bisa berujung pada perasaan rendah diri, kecemasan, atau bahkan depresi.
 

Fenomena lain yang terkait erat dengan validasi diri di media sosial adalah perbandingan sosial. Kita cenderung membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain yang terlihat "lebih baik" di platform seperti Instagram atau Facebook. Kita melihat foto-foto liburan mewah, prestasi akademis, atau hubungan yang harmonis, lalu secara tidak sadar membandingkannya dengan kehidupan kita sendiri yang mungkin terasa "kurang menarik".

Perbandingan ini seringkali tidak adil, karena kita hanya melihat sisi terbaik dari kehidupan orang lain, tanpa menyadari bahwa setiap orang memiliki cerita dan tantangan masing-masing. Namun, perbandingan sosial ini bisa memperburuk perasaan tidak aman dan keinginan untuk mencari validasi lebih banyak.

Bagaimana Mencapai Keseimbangan?

Mengatasi kecanduan validasi sosial media tidaklah mudah, tetapi ada beberapa strategi yang dapat membantu kita mencapai keseimbangan yang lebih sehat.

1. Sadari Pola Pikir Anda

Langkah pertama untuk mengatasi kecanduan adalah dengan menyadari pola pikir kita sendiri. Setiap kali Anda merasa "haus" akan like atau komentar, tanyakan pada diri sendiri: "Mengapa saya merasa perlu validasi ini?" atau "Apa yang akan terjadi jika saya tidak mendapatkannya?" Dengan meningkatkan kesadaran diri, kita dapat mulai melepaskan ketergantungan pada validasi eksternal.

2. Batasi Waktu yang Dihabiskan di Media Sosial

Salah satu cara efektif untuk mengurangi kecanduan adalah dengan membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial. Cobalah untuk menggunakan fitur pengatur waktu yang tersedia di ponsel Anda atau mengunduh aplikasi yang membantu Anda memantau penggunaan media sosial. Dengan demikian, Anda dapat lebih fokus pada kegiatan yang lebih bermakna dalam hidup.

3. Fokus pada Interaksi Nyata

Interaksi nyata dengan orang-orang di sekitar kita jauh lebih berharga daripada interaksi virtual. Cobalah untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman, keluarga, atau komunitas yang memberikan dukungan dan validasi yang lebih autentik. Dengan demikian, kebutuhan akan validasi diri Anda dapat dipenuhi secara lebih sehat.

4. Praktikkan Self-Compassion

Akhirnya, penting untuk mempraktikkan self-compassion (kasih sayang kepada diri sendiri). Terima bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, dan bahwa tidak ada yang sempurna. Diri Anda sudah cukup berharga tanpa perlu disahkan oleh like atau komentar orang lain.

Pengakuan Diri: Kunci untuk Bebas dari Kecanduan

Validasi diri di era digital tidak selalu negatif. Media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk membangun jaringan, berbagi ide, dan bahkan meningkatkan kepercayaan diri. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakan platform tersebut dengan bijak.

Kita harus menyadari bahwa validasi sejati datang dari dalam. Diri kita sudah memiliki nilai yang tidak tergantung pada pendapat orang lain. Dengan memahami hal ini, kita dapat menggunakan media sosial dengan lebih seimbang dan tidak terjebak dalam perangkap kecanduan yang merugikan.

Fenomena Gerhana Bulan, Kecerdikan Alam Yang Mempesona

Validasi diri di era digital adalah fenomena yang kompleks, dipengaruhi oleh faktor psikologi, sosial, dan teknologi. Kita semua pernah merasakan keinginan kuat untuk mendapatkan like dan komentar, tetapi penting untuk menyadari bahwa kebutuhan ini tidak boleh menguasai hidup kita. Dengan meningkatkan kesadaran diri, membatasi penggunaan media sosial, dan fokus pada interaksi nyata, kita dapat mencapai keseimbangan yang lebih sehat dalam menggunakan teknologi.

Ingatlah, nilai diri Anda jauh lebih berharga daripada seribu like di media sosial. Mulailah untuk merangkul diri Anda sendiri, dan biarkan validasi sejati datang dari dalam hati.****

Berita Lainnya
Video Lingkaran
Berita Populer Bulan ini
Thinkedu Online Course
Berita Terbaru
Generasi Digtial Intelektual