Lingkaran.id - Konsep "positivity" atau kesadaran positif telah menjadi tren global. Banyak orang mendorong diri mereka sendiri dan orang lain untuk selalu bersikap positif, menghadapi hidup dengan senyum, dan menghindari pikiran negatif. Namun, di balik tren ini, ada fenomena yang kurang diketahui masyarakat: toxic positivity.
Toxic positivity adalah situasi di mana tekanan untuk "selalu bahagia" dan "selalu positif" justru menjadi beban mental. Ketika seseorang dipaksa untuk mengesampingkan perasaan negatif yang valid, seperti sedih, marah, atau kecewa, mereka mungkin merasa bersalah atau tidak cukup baik. Inilah yang membuat "positivity" yang seharusnya positif menjadi "toxic" atau beracun.
Apa Itu Toxic Positivity?Toxic positivity adalah praktik yang mengharuskan seseorang untuk selalu bersikap positif, tanpa mengakui atau menerima perasaan negatif yang merupakan bagian alami dari pengalaman manusia. Ini bisa termanifestasi dalam bentuk frasa seperti "Jangan sedih, pikirkan yang positif!", "Semuanya akan baik-baik saja!", atau "Jangan merasa iri, bersyukur saja!".
Ketika seseorang mengalami perasaan negatif, seperti kehilangan, kegagalan, atau patah hati, toxic positivity bisa membuat mereka merasa bersalah atau tidak berhak merasakan emosi tersebut. Akibatnya, mereka mungkin merasa sendirian, tidak terdengar, atau tidak valid dalam perasaan mereka.
Passion vs Karier Stabil: Dilema Anak Muda Zaman SekarangToxic positivity dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan mental seseorang. Beberapa dampak yang mungkin timbul antara lain:
- Pengabaian Emosi yang Valid: Perasaan sedih, marah, atau kecewa adalah bagian alami dari kehidupan. Mengabaikan atau menekan emosi-emosi ini bisa menyebabkan semakin parahnya masalah mental, seperti depresi atau kecemasan.
- Meningkatnya Perasaan Bersalah: Ketika seseorang dipaksa untuk "selalu positif", mereka mungkin merasa bersalah karena merasakan emosi negatif. Perasaan ini bisa memperburuk kesulitan mental yang sedang mereka hadapi.
- Kurangnya Dukungan Emosional: Orang-orang yang mengalami toxic positivity mungkin merasa tidak nyaman untuk membuka diri tentang perasaan mereka, karena takut dihakimi atau diberi nasihat yang tidak sensitif.
Bagaimana Toxic Positivity Bisa Muncul?Toxic positivity seringkali muncul dari niat baik, tetapi cara pendekatan yang salah. Beberapa sumber umumnya adalah:
- Sosial Media: Media sosial penuh dengan kutipan motivasi yang mendorong orang untuk "selalu positif" dan "jangan pernah menyerah". Meskipun niatnya baik, pesan ini bisa membuat orang merasa bersalah ketika mereka tidak bisa "sepositif" yang diharapkan.
- Budaya Self-Help: Buku-buku self-help dan seminar motivasi seringkali menekankan pentingnya berpikir positif, tetapi jarang membahas pentingnya menerima dan memproses emosi negatif.
- Lingkungan Kerja atau Sosial: Beberapa lingkungan kerja atau komunitas sosial mungkin mendorong anggotanya untuk "tetap positif" dan menghindari "keluhan" atau "perasaan negatif".
Bagaimana Mengenali dan Mengatasi Toxic Positivity?Mengenali dan mengatasi toxic positivity memerlukan kesadaran dan pendekatan yang lebih seimbang dalam memandang emosi. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Akui dan Terima Emosi Anda: Emosi negatif adalah bagian alami dari kehidupan. Daripada menekannya atau merasa bersalah karenanya, cobalah untuk menerima dan memahami sumbernya.
- Bersikaplah dengan Empati: Jika orang lain mengalami perasaan negatif, jangan langsung memberikan nasihat untuk "bersikap positif". Sebaliknya, dengarkan dan berikan dukungan emosional yang mereka butuhkan.
- Cari Dukungan yang Sehat: Jika Anda merasa bahwa "positivity" yang dipraktekan orang lain atau diri sendiri adalah toxic, carilah dukungan dari orang-orang yang memahami dan menerima emosi Anda secara utuh.
- Praktikkan Self-Compassion: Berikan diri Anda kesempatan untuk merasakan dan memproses emosi negatif dengan baik. Ingatlah bahwa tidak ada yang salah dengan merasakan sedih, marah, atau kecewa.
Self Healing Yang Salah Kaprah, Ini yang Benar!!Positivity adalah hal yang baik, tetapi ketika dipraktekan secara berlebihan dan tidak sensitif, ia bisa berubah menjadi toxic. Penting untuk memahami bahwa emosi manusia adalah kompleks dan multi-dimensi. Kita tidak perlu selalu "positif" untuk bisa bahagia atau sukses. Yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa menerima diri sendiri dan orang lain secara utuh, dengan semua emosi yang menyertainya.
Dengan memahami dan menghindari toxic positivity, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan seimbang bagi kesehatan mental kita dan orang-orang yang kita cintai.****