Lingkaran.id - Istilah "Klasemen Liga Korupsi" kini tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial, terutama di platform X (Twitter), setelah mencuatnya kasus dugaan korupsi di PT Pertamina. Warganet menggunakan istilah ini untuk menggambarkan besarnya kerugian negara akibat korupsi di sejumlah perusahaan pelat merah.
Berdasarkan informasi yang beredar, PT Pertamina sementara ini menempati peringkat pertama dalam daftar tersebut dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp968,5 triliun. Sementara itu, posisi kedua diduduki oleh PT Timah yang disebut merugikan negara sebesar Rp300 triliun. Perhitungan kerugian negara yang ditimbulkan oleh kasus di PT Pertamina ini masih bersifat sementara dan dapat bertambah seiring proses investigasi yang berlangsung.
Guru Viral! Video Syur 5 Menit Hebohkan Media Sosial, Ini Klarifikasi dan Fakta TerbaruKepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa dari total dugaan kerugian negara akibat korupsi di PT Pertamina, sejauh ini baru sebesar Rp193,7 triliun yang dapat dikonfirmasi secara pasti.
Namun, karena kasus ini mencakup periode panjang, yakni dari tahun 2018 hingga 2023, angka tersebut berpotensi meningkat signifikan. Jika dihitung secara kasar, total kerugian negara yang ditimbulkan oleh kasus ini dapat mencapai hampir Rp1 kuadriliun, menjadikannya sebagai skandal megakorupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Korupsi di Subholding Pertamina: Kejagung Sebut Kerugian Negara Baru Dihitung untuk 2023 Sudah Capai Rp 193,7 triliunKasus yang menjerat pejabat tinggi PT Pertamina Patra Niaga ini terkait dengan dugaan penyimpangan dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang mentah. Praktik korupsi semacam ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Sebelumnya, kasus korupsi yang menyeret PT Timah juga mengejutkan publik dengan total kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp300 triliun.
Mencuatnya berbagai kasus korupsi bernilai fantastis ini kembali menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta urgensi dalam memperkuat sistem transparansi dan akuntabilitas guna mencegah praktik korupsi yang merugikan perekonomian negara.***