Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lujeng Andayani, keempat terdakwa dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Modus operandi kejahatan ini diawali oleh Sahril Sidik yang membuat sejumlah rekening bank palsu. Rekening-rekening tersebut kemudian dijual dengan harga Rp 500.000 per rekening.
Beberapa rekening, termasuk yang atas nama dirinya dan seseorang bernama Ridduwan, dijual Sahril kepada Abdul Rahim alias Apong. Tak berhenti di situ, Abdul Rahim melanjutkan transaksi dengan menjual rekening-rekening fiktif tersebut kepada Oskar, dengan harga yang jauh lebih tinggi, yakni Rp 5 juta per rekening.
Selanjutnya, Oskar bersama Meilisa memanfaatkan rekening-rekening itu untuk melakukan transaksi, sesuai arahan dari seseorang bernama Deni, yang saat ini masih berstatus buron (DPO). Sebagai imbalan atas peran mereka, Oskar dan Meilisa menerima bayaran bulanan sebesar Rp 8 juta.
"Di Perumahan The Home Southlink Blok C/03, Kelurahan Tiban Indah, Kecamatan Sekupang, Kota Batam, terdakwa Oskar bersama Meilisa melakukan transaksi atas perintah Deni. Untuk mengaburkan asal usul dana, uang hasil kejahatan tersebut dibelanjakan dalam bentuk aset kripto," terang JPU Lujeng dalam sidang yang digelar Rabu (11/6/2025).
Kasus ini terbongkar pada 22 Juni 2024, setelah pihak Bank Jatim menemukan aktivitas mencurigakan dalam sistem keuangan mereka. Tercatat ada 483 transaksi yang tergolong anomali, dengan total nominal mencapai Rp 119 miliar. Dana tersebut ditransfer ke berbagai rekening atas nama sejumlah perusahaan, di antaranya PT Raja Niaga Komputer sebesar Rp 35,4 miliar, PT Evo Jaya Intan Rp 29,7 miliar, dan PT Pasifik Jaya Angkasa sebesar Rp 22,4 miliar, serta beberapa rekening lainnya.
Wali Kota Palembang Pastikan Program Barak Militer untuk Siswa Nakal Segera Dilaksanakan
Untuk menyamarkan jejak uang haram tersebut, para pelaku mengonversi dana ke dalam bentuk aset kripto yang disimpan dalam dompet digital (wallet) yang dikuasai oleh jaringan pelaku. Setidaknya ada 22 nama berbeda yang digunakan sebagai nama pemilik aset kripto, demi menyamarkan aliran dana.
Menariknya, salah satu nama yang turut terlibat dalam jaringan kejahatan ini adalah Ahmad Sopian, seorang pengemudi ojek online asal Surabaya. Rekening bank atas namanya digunakan sebagai salah satu tempat penampungan dana hasil pembobolan. Atas keterlibatannya, Ahmad lebih dulu dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun.
Dalam sidang yang berlangsung pada Rabu (11/6/2025), Majelis Hakim menegaskan bahwa kasus ini belum sepenuhnya tuntas. Sosok Deni, yang diduga sebagai otak dari aksi kejahatan ini, hingga kini masih buron dan menjadi pekerjaan rumah bagi aparat penegak hukum untuk segera mengungkapnya.***