Meski pengamanan ini dianggap sebagai bagian dari kerja sama antara TNI dan Kejaksaan Agung (Kejagung), banyak pihak yang menilai bahwa langkah tersebut bertentangan dengan prinsip dasar peran militer. TNI selama ini dianggap memiliki fungsi utama sebagai alat pertahanan negara, bukan untuk terlibat dalam tugas pengamanan sipil.
Diskon Listrik Pln 50% Tambah Daya Listrik hingga 23 Mei 2025, Daftar Lewat PLN Mobile
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, membantah bahwa pengamanan oleh TNI terkait dengan dugaan kasus korupsi satelit yang melibatkan Kementerian Pertahanan. Harli menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari kerja sama jangka panjang yang telah tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI dan Kejagung.
“Iya benar, pengamanan oleh TNI ini bukan hanya untuk Kejagung, tapi juga melibatkan kantor-kantor kejaksaan di daerah. Sesuai dengan MoU, ini adalah dukungan pengamanan yang sudah berlangsung dengan lancar di Kejagung,” ujar Harli.
Namun, meski ada penjelasan dari Kejagung, keputusan untuk melibatkan militer dalam pengamanan lembaga sipil ini tetap mendapat sorotan tajam dari sejumlah pihak.
Beberapa pengamat hukum dan organisasi sipil, seperti Imparsial, menyatakan bahwa penugasan militer di kantor kejaksaan berpotensi menimbulkan masalah serius. Al Araf, Peneliti Senior Imparsial, menilai bahwa pengamanan dengan melibatkan prajurit TNI justru bertentangan dengan Undang-Undang TNI dan Konstitusi Indonesia.
“Apa yang terjadi saat ini bukan dalam situasi darurat militer atau sipil. TNI tidak seharusnya terlibat dalam pengamanan lembaga sipil. Ini berpotensi merusak sistem ketatanegaraan kita,” ujar Al Araf.
Hasil Al-Okhdood vs Al-Nassr: Menang 9-0 Tanpa Ronaldo, Peluang ke Liga Champions Asia Terbuka!Kritik ini semakin menguat karena dianggap sebagai langkah yang tidak diperlukan dalam kondisi keamanan normal. Banyak yang berpendapat bahwa pengamanan kantor kejaksaan bisa dilakukan oleh satuan pengamanan internal (satpam) atau pihak-pihak berwenang lainnya tanpa melibatkan militer.
Kebijakan ini juga dikhawatirkan akan mengaburkan garis pemisah antara penegakan hukum dan pertahanan negara, yang seharusnya tidak bercampur dalam tugas-tugas sehari-hari.
Dengan demikian, penugasan TNI ini menjadi perdebatan yang tak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga berimplikasi pada prinsip ketatanegaraan Indonesia. Pemerintah diminta untuk mengevaluasi kebijakan ini dengan cermat agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi sistem hukum dan pemerintahan Indonesia.****