
Dalam suratnya, sang siswi menulis kalimat yang sarat dengan kesedihan dan keputusasaan. Ia mengaku merasa tersakiti oleh ucapan serta perlakuan sebagian teman di kelas yang membuat dirinya kehilangan ketenangan.
“Eneng besdi bikin nyeri ku perkataan babaturan di kls ku omongan, sikap. Eneng bes cape, eneng cuman hayang ketenangan,” tulisnya, yang berarti “Saya baru saja dibuat sakit oleh perkataan teman-teman di kelas, oleh ucapan dan sikap mereka. Saya sudah lelah, saya hanya ingin ketenangan.”
Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa hanya sedikit teman yang tidak menyindirnya, sementara sebagian besar lainnya sering membuatnya merasa terpojok. Meski demikian, gadis muda itu mengaku tetap berusaha memaafkan meski hatinya masih terluka.
“Ajeng lain alim maafkeun maraneh, ajeng lain dendam tapi ajeng bes berusaha maafkeun karirian tapi naon, maraneh anu sering bikin luka ajeng,” tulisnya lagi, yang dapat diartikan “Saya bukan tidak mau memaafkan kalian, saya tidak dendam, tapi saya sudah berusaha memaafkan diri sendiri, sementara kalian yang sering membuat saya terluka.”
Mulai Baca 10 Halaman Buku Setiap Hari Kalau Mau Pola Pikirmu Berubah Total
Ungkapan hati itu menggambarkan betapa dalam luka emosional yang dialami sang siswi. Meskipun masih muda, ia tampak menanggung tekanan sosial yang berat di lingkungan sekolahnya. Surat tersebut kini menjadi perhatian serius bagi pihak keluarga dan warga sekitar yang merasa prihatin atas kondisi psikologis remaja di tengah interaksi sosial yang semakin kompleks.
Pihak sekolah maupun lembaga terkait diharapkan dapat memberikan pendampingan dan perhatian lebih kepada para siswa agar kejadian serupa tidak terulang. Surat sederhana itu kini menjadi pengingat bahwa kata-kata dan sikap yang tampak sepele bisa meninggalkan luka mendalam di hati seseorang, terutama pada jiwa muda yang masih rapuh.***