Website Thinkedu

Lebih dari 400 Tewas, Bencana Sumatra Dinilai Akibat Deforestasi dan Izin Tambang

Lebih dari 400 Tewas, Bencana Sumatra Dinilai Akibat Deforestasi dan Izin Tambang
Foto : Lebih dari 400 Tewas, Bencana Sumatra Dinilai Akibat Deforestasi dan Izin Tambang
Lingkaran.id - Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah Sumatra bagian utara akibat dampak Siklon Tropis Senyar kembali membuka mata publik mengenai rusaknya sistem perlindungan ekologis di pulau tersebut. Menurut sejumlah organisasi lingkungan, kerusakan masif terutama terjadi pada kawasan hutan, daerah aliran sungai, perbukitan, serta wilayah rawan lainnya yang kini kehilangan fungsi alaminya.

Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, dalam keterangan resmi Koalisi Keadilan untuk Planet Kita (JustCOP) pada Senin, 1 Desember 2025, menegaskan bahwa kondisi lingkungan hidup di Sumatra sudah berada pada tahap kritis.

“Daya dukung lingkungan Sumatera sudah kritis, karena hutannya ditimpa dan dirobek-robek oleh ribuan izin industri ekstraktif,” ujarnya.

Leonard juga menyoroti faktor perubahan iklim. Menurutnya, munculnya Siklon Tropis Senyar yang dipicu pemanasan ekstrem di perairan Selat Malaka merupakan bukti nyata bahwa krisis iklim sedang berlangsung. Ia mengingatkan bahwa bencana ini menjadi sinyal batas kemampuan alam dalam menahan kerusakan.

“Dampak kerusakan terus kembali menimpa masyarakat, memperparah krisis sosial-ekologis di tengah perubahan iklim,” tegasnya.

Pandangan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien. Ia menilai bahwa tingginya korban jiwa dan meluasnya dampak bencana seharusnya bisa ditekan apabila pemerintah dan perusahaan melakukan evaluasi ketat terhadap setiap izin usaha, terutama yang berkaitan dengan pembukaan hutan.

“Banyaknya korban seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk memulihkan bentang alam yang rusak dan meninjau ulang izin-izin perusahaan yang merusak lingkungan,” ujarnya.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga Minggu 30 November 2025, sedikitnya 442 orang meninggal dunia dan 402 masih hilang. Provinsi Sumatera Utara menjadi wilayah yang paling parah terdampak, meliputi Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, serta Kota Sibolga.

Salah satu kawasan yang menjadi sorotan adalah ekosistem Batang Toru, yang dikenal sebagai habitat orang utan Tapanuli, primata langka yang populasinya sangat terbatas. Namun, kawasan ini kini terkepung berbagai aktivitas industri ekstraktif, mulai dari tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources, proyek PLTA Batang Toru, PLTMH Pahae Julu, pengembangan panas bumi PT SOL, pabrik kertas PT Toba Pulp Lestari, hingga berbagai perkebunan kelapa sawit seperti PT Sago Nauli dan PTPN III Batang Toru.

Satya Bumi merinci bahwa PT Agincourt Resources memiliki konsesi seluas 130.252 hektare, dengan 40.890,60 hektare di antaranya tumpang tindih dengan kawasan Batang Toru. Sementara 30.630 hektare lainnya bahkan bertabrakan dengan hutan lindung di tiga kabupaten Tapanuli.

Hingga Oktober 2025, perusahaan tersebut telah membuka 603,21 hektare kawasan. Mereka juga berencana menambah pembukaan hutan seluas 195 hektare untuk pembangunan fasilitas penampung limbah atau Tailing Management Facility (TMF). Fasilitas ini berada di hulu DAS Nabirong dan dianggap berpotensi menambah ancaman pada Daerah Aliran Sungai Batang Toru, terlebih lokasi tersebut berada di area rawan gempa.

Satya Bumi mendesak pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh aktivitas ekstraktif di kawasan Batang Toru.

“Sudah saatnya pemerintah menindak tegas perusahaan perusak hutan dan menghentikan izin yang menambah tekanan pada ekosistem,” tegas Andi.

Menurut analisis citra satelit Nusantara Atlas oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), aktivitas PT Agincourt Resources diduga telah menyebabkan deforestasi seluas 739 hektare selama satu tahun terakhir. Selain itu, pembukaan lahan sawit dalam skala besar turut mempercepat erosi tanah dan merusak keseimbangan hidrologi sungai.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Sumatra memiliki sedikitnya 10 juta hektare perkebunan kelapa sawit. Perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan dan tambang telah menghilangkan kemampuan alam untuk menahan air, sehingga meningkatkan risiko banjir dan longsor.

Di sisi lain, keberadaan izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI)—yang disatukan dalam izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) sesuai Undang-Undang Cipta Kerja, juga dinilai berkontribusi besar terhadap deforestasi. Alih fungsi ini membuat daerah aliran sungai tidak lagi mampu memperlambat laju air secara alami.

Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), yang membuka pintu alih fungsi hutan lindung untuk aktivitas ekstraksi, turut memperparah kondisi. Hingga November 2025, pemerintah telah menerbitkan 271 PPKH di Sumatra, dengan total luasan mencapai 53.769,48 hektare.***

Berita Lainnya
Video Lingkaran
Berita Populer Bulan ini
Thinkedu Online Course
Berita Terbaru
Generasi Digtial Intelektual