GRIB Jaya adalah organisasi masyarakat yang berfokus pada isu lingkungan dan sosial. Didirikan pada tahun 2010, organisasi ini menyatakan misinya untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat marginal, serta mengadvokasi pelestarian sumber daya alam. GRIB Jaya juga dikenal aktif dalam kampanye anti-penambangan ilegal dan penggalian sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab.
Meskipun demikian, kehadiran GRIB Jaya di beberapa daerah, terutama Bali dan Kalteng, tidak disambut dengan baik. Bahkan, di beberapa wilayah, organisasi ini dianggap sebagai "orang luar" yang mencoba mengintervensi urusan internal masyarakat setempat.
Penolakan di Bali: Faktor Budaya dan AgamaBali, sebagai daerah dengan identitas budaya dan agama yang kuat, menjadi salah satu epicentrum penolakan terhadap GRIB Jaya. Masyarakat Bali, yang sebagian besar beragama Hindu, memiliki nilai-nilai budaya dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu alasan utama penolakan ini adalah dikabarkannya GRIB Jaya mencoba mengintervensi proses-proses adat dan keagamaan masyarakat Bali. Misalnya, dalam beberapa kasus, GRIB Jaya dikabarkan ikut campur dalam pengelolaan tanah suci (sabha) yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari para tokoh adat dan agama setempat.
Selain itu, masyarakat Bali juga merasa bahwa GRIB Jaya tidak memahami konteks lokal yang komplex. "Mereka datang dengan ide-ide yang dianggap 'lebih baik', tapi tidak memperhatikan bagaimana masyarakat lokal telah hidup selama ratusan tahun," kata seorang tokoh adat Bali.
Penolakan di Kalteng: Persoalan Sosial dan PolitikKalimantan Tengah, dengan latar belakang sosial dan politik yang berbeda, juga menjadi daerah penolakan GRIB Jaya. Di Kalteng, penolakan lebih dipicu oleh isu-isu sosial dan politik daripada budaya atau agama.
Salah satu faktor penting adalah konflik kepentingan antara GRIB Jaya dengan elite lokal. Di beberapa kabupaten, GRIB Jaya dikabarkan menentang kebijakan pemerintah daerah yang dianggap merugikan masyarakat kecil. Namun, hal ini justru menimbulkan resistensi dari para elit yang merasa kepentingannya terancam.
Selain itu, masyarakat Kalteng juga merasa bahwa GRIB Jaya tidak memiliki legitimasi yang cukup untuk bertindak sebagai "pembela" masyarakat. "Kami tidak mengenal mereka, dan mereka tidak punya andil dalam perjuangan kami sebelumnya," kata seorang aktivis lokal. "Jadi, mengapa sekarang mereka tiba-tiba muncul dan ingin memimpin kami?"
Penutup
Penolakan terhadap GRIB Jaya di Bali dan Kalteng adalah fenomena yang komplex dan multifaktor. Dibalik polemik ini, ada pelajaran berharga tentang pentingnya memahami konteks lokal, membangun legitimasi, dan menghormati kearifan masyarakat. Bagi organisasi-ormas lainnya, kasus ini juga menjadi peringatan untuk selalu bergerak dengan hati yang tulus dan niat yang baik.